Detail literasi:
Empati Adalah Solusi Bersekutu dengan Murid
Awal
Entah sampai kapan pandemik ini berlangsung. Ada sisi positif juga ada sisi negatifnya bagi guru maupun murid. Terkadang murid sudah mulai dilanda kejenuhan. Guru kehilangan cara untuk mengatasinya. Hal tersebut juga saya alami beberapa bulan terakhir ini. Sebagai wali kelas sering menerima keluhan-keluhan dari beberapa guru yang mengampu di kelas saya. “ Bu, murid A tidak pernah ikut Zoom, Bu murid B tidak pernah mengumpulkan tugas, Bu ini …, Bu itu…” begitulah ungkapan beberapa guru jika bertemu dengan saya.
Mulai melakukan beberapa jurus, dari menjalin hubungan dengan murid dan orang tua lebih intens sampai dengan cek ricek sebab murid mulai dilanda kejenuhan. Dari 35 jumlah murid di kelas, ternyata ada 5 yang spesial. Maka saya bentuk grup WA spesial untuk mereka, agar penanganannya lebih fokus. Dari lima murid spesial, satu yang belum bisa dihubungi, yaitu M. Azril. Saya hubungi lewat telpon terkadang bisa, terkadang juga susah. Demikian juga orang tuanya. Sementara laporan dari beberapa guru tetap sama, bahwa M. Azril tidak pernah mengikuti kegiatan Zoom dan tugasnya banyak yang belum dikumpulkan.
Tantangan
Menjelang dilaksanakan PTS, saya menanyakan bagaimana perkembangan anak wali saya terutama lima murid spesial. Empat murid menunjukkan progres yang baik, namun satu nama yaitu M. Azril yang masih tetap belum ada perkembangan. Sampai pada akhirnya tekad bulat saya berniat untuk berkunjung ke rumahnya.
Hari itu Selasa, 22 September 2020, tepatnya pukul 13.00 saya berkunjung ke rumah Azril. Tidak begitu jauh jarak sekolah dengan rumahnya. Lama kuketuk-ketuk pintu rumahnya, tak ada suara bergeming. Akhirnya, dibantu oleh tetangganya, saya berhasil menemui tuan rumah yaitu Azril sendiri. Ternyata dia tidur. Saya sangat bersyukur bisa bertemu M. Azril di rumahnya.
Setelah saya ajak ngobrol, saya tanya kenapa kok gak pernah ikut pertemuan melalui Zoom Meeting? Dan apakah betul tugas dari guru-guru belum dikerjakan? Saya ingin mendengar jawaban dari Azril langsung. Bagai disambar petir di siang bolong, jawaban Azril sangat mengejutkan saya. “Benar Bu, selama ini saya tidak pernah mengikuti pertemuan lewat Zoom Meeting”, ceritanya sambil menunduk ketakutan. “Lalu tugas-tugas dari Bapak Ibu guru kok tidak dikerjakan?” aku cecar dengan pertanyaan – pertanyaan yang seolah gak sabar ingin segera tahu alasannya.
“Setiap hari, sekitar pukul 17.00 sampai pukul 3.00 dini hari saya harus bekerja menjaga warkop, untuk membantu keuangan keluarga Bu.” Dia mulai bercerita sambil berkaca-kaca. “Setelah salat Subuh inginnya tidur sebentar, tapi selalu tertidur sampai siang menjelang Zuhur, maafkan saya kalau saya selalu tidak bisa ikut Zoom Meeting Bu, sambil terbata-bata dia memberikan alasan kenapa selama ini hampir semua guru mengeluhkan ketidakaktifannya. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Saya hanya bisa diam. “Ibu ke mana?” tanyaku sambil melongok kanan kiri terlihat sepi. Ternyata sang ibu juga punya kesibukan mencari nafkah di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan di masa pandemik ini.
Jadi sangatlah jelas jika selama ini M. Azril tidak bisa mengikuti Zoom Meeting, dan tidak bisa mengerjakan tugas-tugas dari Bapak Ibu guru. Sebelum hal itu saya komunikasikan dengan guru-guru pengampu di kelas saya, empati juga muncul. Setelah mengenal KGBN saya selalu bersekutu dengan murid. Tapi memanjakan dan memberikan dispensasi bukanlah solusi. Antara ibah dan empati yang saya rasakan. Apakah M. Azril dibebaskan dengan tugas-tugasnya?
Aksi
Beberapa hari kemudian saya berkunjung lagi ke rumah Azril. Saya sangat bersyukur bisa bertemu dengan orang tuanya. Sejak kecil orang tua Azril berpisah, entah apa yang menjadi alasannya. Sehingga sang ibu banting tulang memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Apalagi di masa pandemik seperti ini, semua serba sulit, maka dengan restu sang ibu Azril membantu memenuhi kebutuhan keluarga dengan menjaga warkop setiap harinya. Ketika jam-jam sekolah Azril hanya bisa terlelap karena semalaman harus menjaga warkop milik tetangganya. Itulah kenyataannya. Hal tersebut saya komunikasikan kepada beberapa guru, agar bisa memahami keadaan Azril. Namun saya sebagai wali kelas tidak serta merta menggugurkan kewajiban yang selama ini harus diselesaikan.
“Azril, kamu gak ingin kuliah?”, kuawali komunikasi dengan pertanyaan yang berhubungan dengan masa depannya. “Apakah Azril selamanya ingin jaga warkop?” kulanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, walau belum satu jawaban dari pertanyaan yang saya ajukan. Dan masih beberapa pertanyaan yang membuat dia berpikir. Dan terakhir, saya ajukan pertanyaan “Apakah Azril sayang Bu Alfi?, sehingga tidak mau lulus dari Smamda?” Dia terhenyak dan seolah memikirkan jawaban apa yang harus dia berikan ke saya. Sudah ya, pertanyaan saya tidak usah dijawab tapi buktikan dengan sikap dan tingkah laku. Itu pernyataan terakhir yang saya berikan ke Azril.
Ibundanya seakan pasrah ke saya sebagai wali kelasnya. Beliau hanya manggut-manggut tanda sepakat dengan apa yang saya lakukan. “Iya Bu, saya akan buktikan, bahwa saya mau berubah, dan mengejar ketinggalan saya” ujarnya. Saya hanya bisa memandang dan meyakinkan bahwa “Kamu bisa”. ”Niatkan dalam diri kelak kamu akan menjadi orang yang sukses”. Hanya itu pesan saya sambil kutepuk pundaknya. Semoga yang terbaik buat Azril, gumamku lirih.
Pelajaran
Banyak hal yang bisa saya ambil hikmah dari kunjungan ke rumah M. Azril. Semua murid, semua guru. Ketika saya berkunjung ke rumah Azril saya posisikan diri ini sebagai murid yang banyak belajar dari murid saya Azril. Bagiku dia adalah guru kehidupan saya. Setelah menyaksikan kisahnya, betapa pembelajaran hidup yang sesungguhnya telah dipelajari. Pelajaran Matematika, Ekonomi, Sejarah, hanya materi pelengkap dalam pembelajaran kehidupannya. Tidak ada guru pengampu dan materi untuk memperkaya pengalaman, namun pengalaman itu sendiri yang membuat dia memahami arti kehidupan.
Dari kegiatan berkunjung ke rumah Azril, banyak hal yang bisa diambil manfaatnya. Komunikasi bersama murid dan orang tua di masa pandemik sangat dibutuhkan. Banyak hal yang tak terduga terjadi pada murid kita. Sebagai guru, tetap harus memunculkan empati kepada murid. Tidak semua permasalahan yang dialami murid disebabkan karena kemalasan, kejenuhan, dan yang lain. Dengan komunikasi dan memanusiakan hubungan yang baik kita akan lebih memahami murid, dan bisa menyelesaikan persoalan yang dialaminya.