Detail literasi:
Budayakan Literasi Bersama Kanvas Menulis
Oleh Alfi Faridian
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di masyarakat dan dari sejarah” (Pramoedya AT). Itulah kalimat penyemangat untuk terus belajar menulis. Selain untuk saya juga untuk murid-murid agar tetap semangat menulis. Menulis itu tidak perlu bakat, tidak ada kata terlambat untuk menulis. Maka ketrampilan berbahasa yang satu ini bisa ditekuni, asalkan ada kemauan dan terus dilakukan. Orang bijak juga berkata bahwa menulis diibaratkan pisau, semakin sering digunakan, semakin tajam mata pisaunya.
Suasana kelas makin sepi, ketika saya menyampaikan materi menulis Esai. “Krik…krik…krik”, saya merasa sendiri di antara kelas yang lengkap muridnya. Suasana menjadi ambyar ketika saya bertanya tentang hobi mereka. Dengan riangnya murid-murid menyebutkan hobinya satu persatu. Jalan-jalan, menonton drama Korea, olah raga, melukis, dll. Tak satupun yang memiliki hobi menulis. Itu sempat membuat galau hati semakin menyala. Pantas saja suasana kelas seperti kuburan.
Guru kreatif tak boleh mengeluh, harus terus mencari cara untuk mengatasi masalah. Itu yang terpatri dalam diri dari saya, ketika menghadapi masalah. Dengan keadaan tersebut saya harus bisa mengajak murid untuk mau dan bisa menulis. Saya yakin pasti bisa, hanya karena belum terasah sehingga mereka masih tumpul dalam menulis. Untuk pertama kalinya saya berusaha mengasah ketrampilan menulis dalam materi menulis Esai, dengan harapan mereka bisa menulis dengan mudah. Maka saya mencoba menggunakan “Kanvas Menulis”.
Kanvas Menulis? Bisakah mengubah menulis menjadi hobi murid-murid saya? Jawabannya “Bisa”. Pastinya saya kolaborasikan antara menulis menggunakan Kanvas Menulis dengan hobi mereka. Kanvas menulis berbentuk tabel, terdiri dari beberapa bagian. Bagian yang pertama adalah tesis, yang meliputi subbagian: buat konteks, jelaskan tren kekinian, definisi konteks, dan kalimat retorik. Bagian kedua adalah argumentasi, yang terdiri dari subbagian poin atau opini, penjelasan atau penjabaran dari opini tersebut, pembuktian, dan penautan antara penjelasan dan pembuktian. Bagian terakhir adalah iterasi, yang meliputi penegasan ulang, rekomendasi, kata atau kutipan bijak penulis.
Sebagai langkah awal, saya ajak murid mengidentifikasi dan menganalisis artikel saya. Mengapa bukan karya orang lain? Agar murid termotivasi dan terinspirasi oleh gurunya. Selain itu, tak elok jika kita belum punya tulisan, tetapi mengajak murid melakukannya. Kami mendiskusikan isi, kebahasaan, sampai fakta dan opini. Dari artikel tersebut murid saya ajak untuk menguraikan berdasarkan bagian-bagian dan subbagian-subbagian yang ada dalam Kanvas Menulis. Dengan harapan, murid-murid memahami apa yang harus diisikan pada Kanvas tersebut.
Setelah melewati kegiatan diskusi dan pengisian, kegiatan berikutny aadalah melanjutkan mengisi Kanvas Menulis dengan tema hobi masing-masing. Pada kegiatan ini, murid menuliskan gagasannya di kolom-kolom Kanvas Menulis. Dimulai dari tema, tesis, argumentasi, sampai dengan iterasi. Murid menuliskan gagasan-gagasannya di setiap subbagian. Saya cermati satu per satu. Ternyata mereka bisa menuangkan ide-idenya.
Di luar dugaan, dari beragam tema, semua menarik. Berbagai bidang terwakili. Mereka menuangkan ide tentang politik, seni, olahraga, sastra, peristiwa, dan lain-lain. Mereka isi bagian-bagian Kanvas Menulis dengan sempurna. Setelah kolom-kolom terisi, murid mengembangkan rancangan tersebut menjadi esai yang utuh. Tak lupa juga tulisan harus disunting berdasarkan kaidah PUEBI, sebelum dipublikasikan.
Mereka begitu gembira menikmati karyanya. bisa membuat esai dengan mudah dan baik. Saatnya mereka menyunting esai milik teman. Perayaan dimulai ketika mereka memublikasikan esainya di blog masing-masing. Mereka saling memberi komentar, memberi apresiasi, dan merasakan kegembiraan: bisa menulis esai dengan mudah dan menyenangkan.
Sejak saat itu, saya terus membiasakan dan mengajak murid-murid untuk menulis. Setiap ada peristiwa baik dalam diri sendiri ataupun orang lain, wajib dibuat tulisan. Hal itu saya lakukan agar murid-murid konsisten menulis. Dengan demikian pembiasaan itu akan menjadi kebiasaan dan akhirnya biasa. Tidak ada lagi iming-iming, ketika mereka selesai menulis, maka langsung dipublikasikan ke blog-nya. Maka yang terjadi blog mereka penuh dengan hasil karya, baik esai maupun jenis tulisan yang lain. Senang sekali melihat perubahan mereka. Dan ketika ditanya, apa hobi mereka sekarang, ada yang menyebut “menulis”. Perlahan pupus, kegalauan saya ketika itu.
Perlu dicoba? Ya, tidak ada salahnya jika guru-guru lain mempraktikkan apa yang sudah pernah saya lakukan. Memang tak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Tapi tugas guru di sini membersamai murid, untuk berpengalaman dalam segala apapun. Dengan tujuan memaksimalkan kompetensi mereka. Guru tidak boleh egois, ketika pandai menulis, sementara murid-muridnya enggan dan tak bisa menulis. Tanggung jawab ada di kita sebagai guru. Jangan ada kata bosan membersamai murid-murid kita. Jika mereka menjadi insan yang sukses, bangga sekali melihatnya.
Sebuah peluru jika ditembakkan akan menembus satu kepala, namun jika tulisan bisa menembus ribuan kepala. Sebuah harapan ingin membukukan tulisan murid-murid menjadi sebuah buku kumpulan esai remaja masih dalam angan-angan. Suatu saat harus terwujud, agar ide-ide kreatif mereka juga bisa dibaca oleh masyarakat luas. Dengan begitu sebagai guru dan orang tua akan lebih memahami siapa dan bagaimana anak-anak sekaligus murid-murid kita.
Inilah salah satu bentuk strategi saya untuk membuat murid-murid mau dan bisa menulis. Seperti yang kita tahu bahwa budaya literasi harus kita tanamkan ke mereka. Baik membaca dan menulis. Jika mereka sudah gemar menulis, otomatis akan memperkaya bacaannya. Demikian juga sebaliknya, setelah mereka sudah bisa menghasilkan karya akan penasaran dengan karya orang lain, maka akan muncul keinginan membaca buku yang lain. Tentunya tak lepas dari kita sebagai guru yang terus memberikan motivasi kepadanya. Jika ini dilakukan oleh seorang guru, maka kelas tersebut akan tercipta budaya literasi membaca dan menulis. Jika guru-guru melakukan ini, maka di sebuah sekolah tersebut juga akan tercipta budaya literasi. Andaikan semua guru melakukannya, maka budaya literasi ada di nusantara. Tidak ada yang tidak mungkin, jika kita terus bersama-sama menumbuhkan semangat literasi pada diri murid kita masing-masing.