NILAI KEJUJURAN DALAM PENILAIAN BERBASIS DIGITAL

Lailil Ma`rufah, S.E., M.M. | 27 September 2022

Detail literasi:

Era digital memang tidak dapat dihindari. Penawaran berbagai kemudahan di era ini semakin mudah diperoleh. Berbagai bidang mengalami transformasi dari model konvensional menjadi lebih modern, serba cepat dan mudah. Demikian juga dunia pendidikan, sebut saja kemudahan dalam proses belajar mengajar. Dulu guru mengajar hanya satu arah dimana guru menjelaskan panjang lebar terkait dengan materi yang sedang di bahas. Sedangkan di era digital saat ini seorang peserta didik dapat memperoleh materi tidak hanya dari satu arah yaitu guru melainkan dari berbagai arah. Mereka dapat memperoleh materi dengan browsing melalui layanan berbagai situs, buku electronic dan berbagai aplikasi yang tersedia begitu banyak dan mudah diakses. Proses kegiatan belajar pun akan semakin mengasyikan jika dilakukan secara kreatif dengan  memanfaatkan berbagai aplikasi yang tersedia sehingga dapat memantik kreatifitas peserta didik. Tidak hanya proses kegiatan belajar kegiatan penilaian pembelajaran juga dapat dilakukan sejalan dengan perkembangan era digital.

Penilaian berbasis digital, tentu hal ini menyenangkan bagi peserta didik, sebagaimana mereka adalah generasi milenieal yang kehidupan sehari-harinya akrab dengan tehnologi  terutama Handphone. Sisi lain adalah penghematan dari segi biaya baik tenaga kerja maupun biaya terkait dengan perangkat penilaian yaitu seperti kertas. Kita tahu pemanfaatan kertas dalam proses penilaian membutuhkan banyak kertas. Padahal kita ketahui pula misi penyelamatan bumi dari pemanasan global sedang digembar gemborkan salah satunya yaitu penyelamatan hutan.

Kembali lagi pada pembahasan penilaian berbasis digital. Ada yang menarik dari penilaian berbasis digital. Terdapat nilai positif yang dapat diambil namun ada hal yang harus dikritisi pula sebagai bahan untuk evaluasi dan langkah-langkah perbaikan. Kali ini pembahasan dari sisi nilai-nilai kejujuran pelaksanaan penilaian berbasis digital. Setelah mengupas sisi positifnya, kita mencoba menelisik dari sisi yang lain. Apakah pelaksanaan penilaian berbasis digital menjamin peserta didik berbuat jujur atau tidak melakukan kecurangan? Jelasnya tidak ada jaminan pelaksanaan penilaian terhindar dari kecurangan. Berbasis kertas saja kecurangan sudah sangat mudah dilakukan.

Sebagian peserta didik menanggapi ini, bahwa ketika mereka melaksanakan penilaian mereka dengan mudah mengakses situs lain untuk mendapatkan sumber jawaban. Selain itu dari awal sebagian dari  mereka sudah menyiapkan berbagai jawaban dalam bentuk screenshot. Namun harus tetap optimis juga bahwa masih ada peserta didik yang mengerjakan secara jujur.

Dalam pelaksanaan pengawasan juga tidak mudah dilakukan, meskipun pengawasan terjadi secara ketat, menurut peserta didik yang berbuat kecurangan, secara terang-terangan mereka mengungkapkan “Sangat mudah kami mendapatkan jawaban”. Kemudahan yang terjadi  tidak dapat dipungkiri karena semua dapat dilakukan dalam satu genggaman, dalam satu sentuhan. Maka dari peristiwa tersebut sudah jelas bahwa hasil dari penilaian tidak dapat dijadikan pengukuran secara obyektif.

Memang tidak mudah menerapkan nilai-nilai kejujuran pada pelaksanaan penilaian hasil belajar. Karena kejujuran itu sendiri harus dibangun melalui proses pembiasaan yang panjang. Pembiasaan bersikap jujur harus dibangun mulai sejak kecil dimulai dari lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah sebagai lembaga pendidikan. Kesadaran dalam bersikap jujur juga harus datang dari pribadi peserta didik itu sendiri.  Disinilah peran sekolah sebagai lingkungan ke dua setelah keluarga harus berperan aktif untuk menanamkan sikap jujur dalam segala hal. Peran guru sebagai pelaksanaan pembelajaran dikelas dianggap yang paling penting karena bersentuhan langsung dengan peserta didiknya. Membangun tradisi bersikap jujur dalam belajar terlebih lagi melekatkan nilai kejujuran dalam kehidupan sehari-hari mutlak dilakukan.

Dalam konteks pendidikan saat ini, fenomena tentang kemerosotan nilai-nilai moral sudah menunjukkan lampu merah. Sinyal ini harus segera ditangkap oleh berbagai elemen terutama pelaku pendidikan untuk bersinergi bagi pembangunan karakter. Dibutuhkan komitmen yang kuat antara penyelenggara sekolah, guru sebagai pelaksana pembelajaran, dan wali murid untuk merumuskan bersama bagaimana membangun budaya sekolah. Membangun budaya sekolah yang berbasis karakter melalui program program pendidikan karakter secara berkala ataupun berbasis problem solving terkait masalah yang terjadi disekolah. Maka sekolah penting membentuk forum group discuss untuk merumuskan program-program tersebut.

Lantas apakah kemudian pelaksanaan penilaian digital harus ditiadakan? Jawabannya tentu tidak. Karena tidak ada yang salah dan tidak dapat dihindari pula. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana memanfaatkan secara bijaksana. Lalu bagaimana dengan sekolah yang melaksanakan penilaian berbasis digital. Sekolah yang melaksanakan penilaian tersebut penting untuk menciptakan sistem pelaksaanaan penilaian secara komprehensif.  Hal ini sebagai upaya untuk meminimalkan kelemahan dari pelaksanaan penilaian berbasis digital. Diantaranya yang harus dipersiapkan adalah menyangkut teknis pelaksanaan, sistem informasi yang digunakan harus meminimalisir terjadinya kecurangan, sistem pengawasan dan sebagainya.

Menanggapi perkembangan teknologi harus dari berbagai sudut pandang. Demikian juga dengan penilaian berbasis digital. Melihat secara seimbang baik segi positif dan negatif, bersikap bijak harus terus dikedepankan, mengambil kebaikan yang ada dan mecari solusi dari kekurangan yang ada.

Berita Lain Semua Berita

Literasi GTK Semua Literasi

Copyright © 2023 SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo