Detail literasi:
Aku Tetap Guru Mereka
Oleh Alfi Faridian
"Teknologi adalah tools, hanya suatu alat. Bukan segalanya. Kualitas pembelajaran dalam kelas, interaksi antara guru dan murid itu esensinya."
Nadiem Makariem
“Jangan pisahkan aku dengan muridku”, ungkap seorang guru. Memilukan, mengandung makna yang membuat air mata tak terbendung. Itulah yang terjadi, ketika pembelajaran dilakukan dengan cara jarak jauh. Semua kegiatan seolah-olah dibatasi oleh gerak dan ruang. Ada satu kecerdasan buatan yang telah menggantikan posisi guru untuk mentranfer ilmu kepada sang murid. Dialah kecanggihan teknologi. Apakah Kecanggihan teknologi akan menggantikan posisi guru?
Sebagian masyarakat, digalaukan dengan dunia pendidikan. Para orangtua banyak yang mengeluh, ketika putra-putrinya belajar di rumah. Jika di dalam rumah tersebut ada tiga anak yang masih mengenyam bangku sekolah, maka bisa dibayangkan bagaimana hebohnya suasana rumah tersebut. Seakan ungkapan “Ibu adalah madrasah pertama buat buah hatinya”, pupus sudah. Masyarakat mulai melupakan ungkapan tersebut. Mereka beranggapan bahwa belajar harus di sekolah. Itulah fenomena yang terjadi.
Seperti yang dituturkan oleh menteri Pendidikan "Teknologi adalah tools, hanya suatu alat. Bukan segalanya. Kualitas pembelajaran dalam kelas, interaksi antara guru dan murid itu esensinya.” Ini yang harus dipahami oleh masyarakat sekitar. Bagaimanapun kondisi dunia pendidikan, posisi guru tetap di hati murid-muridnya. Tak akan bisa berganti dengan apapun. Meskipun ada kecerdasan buatan oleh manusia itu sendiri. Ketulusan, empati tidak akan bisa diduplikat dengan kecanggihan apa pun. Teknologi hanya alat yang bisa menghubungkan interaksi antara guru dengan murud.
Apa yang harus dilakukan oleh guru? Kecerdasan buatan menawarkan banyak solusi menghadapi pendidikan di masa pandemik ini. Bergantung pada sang guru. Sampai di mana kreativitas dan inovasi guru dimaksimalkan. Selain itu di media sosial, tak sedikit pula tawaran belajar untuk memanfaatkan kecerdasan buatan ini.
Pastinya untuk menyikapi keadaan seperti ini, guru tak patut berdiam diri. Ada yang harus digerakkan. Ada yang harus diubah. Semua bertujuan, agar pendidikan tetap pada relnya. Demikian juga, murid tetap mendapatkan haknya untuk bisa belajar. Yakinkan pada masyarakat, bahwa belajar tidak harus di sekolah. Belajar bisa dilakukan di mana saja. Namun satu hal, peran guru tidak bisa digantikan oleh apa pun. Termasuk dengan kecerdasan buatan.
Apa yang dilakukan guru? Membangun sebuah kolaborasi yang harmonis, antara guru, murid, dan orang tua. Mengapa demikian? Itulah langka awal yang dilakukan guru ketika merancang pembelajaran jarak jauh. Peran orang tua sangat penting. Guru tidak bisa berhasil melaksanakan kegiatan tersebut tanpa peran orang tua. Maka komunikasikanlah kegiatan tersebut dengan orang tua.
Pada kondisi darurat seperti ini, pembelajaran harus tetap dilakukan. Bahkan lebih menarik dan lebih kontekstual. Hal ini bertujuan agar murid tetap semangat dalam belajar. Maka guru harus memahami profil murid. Bagaimana caranya? pasti sudah ada pendekatan dari awal. Bertanya pada beberapa guru juga bisa dilakukan. Selain itu guru bisa berkomunikasi secara langsung dengan orang tua. Semua itu diperlukan untuk mengetahui siapa dan bagaimana kondisi murid. Memang beragam, namun hal ini penting kita lakukan.
Banyak strategi yang bisa dilakukan guru, agar pembelajaran jarak jauh berhasil dengan baik. Misalnya diskusi lewat WhatsApp, pembelajaran langsung menggunakan youtube, berdialog melalui Zoom, dan masih banyak lainnya. Bahkan ada juga guru melakukan anjang sana bertemu murid secara langsung. Itu semua bergantung dari guru. Yang pasti kerja sama dengan pihak orang tua harus diutamakan.
Suatu ketika ada jadwal membersamai murid dalam situasi pembelajaran jarak jauh. Kugunakan grup kelas yang biasanya tempat kami berkomunikasi. Tepatnya media sosial “Line”. Satu jam sebelum kegiatan berlangsung, kusapa mereka dan menanyakan kabar baiknya. Antusias sekali walau tak semua merespon. Saat itulah, kubangun kesepakatan bahwa satu jam ke depan kita belajar bersama dan semua wajib mengikutinya. Ini penting dilakukan, agar murid bisa bersiap-siap. Dan mengapa kupilih ”Line”, anak remaja lebih memilih aplikasi itu, dengan alasan lebih asyik dan bervariasi. Aku pun mengikutinya dengan harapan lebih memanusiakan hubungan antara guru dan semua murid.
Satu jam kemudian, kuawali dengan salam dan berdoa bersama. Lalu diteruskan ketik emotikon “senyum” tanda kehadiran. Lima menit berlansung hanya 2 siswa yang belum siap. Alhamdulillah, ternyata mereka antusias dan semangat. Diskusi diawali bincang-bincang santai seputar pandemi yang sedang berlangsung. Di keluarga, maupun di lingkungan masing-masing. Celotehnya luar biasa, tak segan-segan mereka saling berkirim stiker. Ternyata mereka juga merasa rindu dengan suasana kelas sehari-harinya. Di sini guru harus bisa mengendalikan jalannya diskusi, dan sekali-kali cek siapa yang tidak aktif.
Di situasi ini kuberikan materi tentang mengenalkan kembali makna kata yang lagi boming, misalnya pandemi, korona, KDR (Kerja Dari Rumah), Pembatasan sosial, Lockdown, dan kata selingkung lainnya. Sederhana tapi penting untuk diketahui. Diskusi dilanjutkan dengan penugasan bagaimana langkah meredam terjangkitnya Covid-19 tersebut. Tentunya pada produk terdapat istilah yang sudah didiskusikan bersama. Bentuk produk bisa berupa video, poster, Tik-Tok, dan lain-lain. Mereka menyambut gembira. Untuk menyerahkan produk bisa dikirim melalui surel guru. Kegiatan diskusi diakhiri dengan doa.
Di sini murid boleh memilih bentuk tantangan, karena pembelajaran jarak jauh, seyogyanya tak lepas dari strategi 5M. yaitu memanusiakan hubungan, memahami konsep. Membangun keberlanjutan, memilih tantangan, dan memberdayakan konteks. Bagaimana Asesmennya? Bisa didapat dari keaktifan saat diskusi dan hasil produk. Begitu sahabat guru, jika kita ingin pembelajaran jarak jauh asyik dan menarik. Tetaplah mengacu pada strategi tersebut.
Hal lain yang juga bisa dilakukan adalah mengasah wawasan kita. Dengan hanya melakukan diskusi murid akan bosan. Sejatinya setiap guru harus terus belajar. Apalagi masuk pada era New Normal. Semua kebiasaan lama telah berubah. Termasuk proses kegiatan belajar dan mengajar yang dilakukan guru di kelas. Kegiatan tatap muka secara langsung masih dibatasi. Di sinilah, peran perubahan dimaksimalkan. Maka guru harus selalu tahu hal yang baru.
Bagaimana keberadaan guru agar tak tergantikan dengan teknologi? Jika ruang belajar siswa hanya penuh dengan gawai dan soal-soal, kemungkinan hal tersebut terjadi. Komunikasi dengan intens salah satu tipsnya. Guru harus membangun komunikasi bersama murid dan orang tua. Hal tersebut bisa dilakukan guru di luar jam belajar. Mulailah dengan pertanyaan-pertanyaan yang sederhana. “Apa kabarnya mala mini?, Bagaimana materi hari ini?” dan yang lainnya. Guru bisa mengembangkan dengan pertanyaan yang lain. Hal ini penting dilakukan agar terjalin hubungan antara guru dan murid.
Dari pendekatan di atas, guru bisa melalukan penilaian formatif terhadap murid. Sekali berlayar, dua tiga pulau terlampaui. Banyak cara melakukan penilaian formatif. Dengan berbincang santai kita juga bisa melakukan penilaian. Murid dengan bebas, tanpa tekanan mengungkapkan jawaban atas pertanyaan dari guru. Dengan demikian guru lebih memahami, apakah murid dapat menyerap pembelajaran yang telah dilakukan. Jika belum tercapai tujuan pembelajaran, guru bisa mengulang lagi setelah melakukan refleksi bersama murid.
Dari pemikiran – pemikiran di atas, dapat ditarik benang merah, di antaranya, dalam kondisi apa pun guru siap membersamai murid. Bahwa sesungguhnya, belajar bisa dilakukan di mana saja, bagaimana keadaannya. Guru merdeka belajar siap dengan tantangan-tantangan baru. Karena kesehariannya selalu belajar secara mandiri, berkomitmen, dan selalu melakukan refleksi untuk perbaikan pembelajaran berikutnya.
Sahabat guru, saatnya kita ciptakan pembelajaran jarak jauh yang lebih berinovatif dan bervariatif. Guru harus lebih percaya diri, agar murid lebih memercayai kita sang guru. Dan selalu berkomunikasi baik dengan murid maupun orang tua. Jika hal ini kita optimalkan, maka tidak ada kata gagal dalam pembelajaran. Yang terpatri pada anak adalah kita tetap guru baginya. Dan teknologi secanggih apa pun tak akan bisa menggantikan posisi guru di hati para murid.