Detail Berita:
Pemerintahan dan ketatanegaraan yang tersistem, benar-benar dimiliki oleh seorang raja di negeri Thailand. Seorang raja yang utuh sebagai pemegang otoritas. Hal ini tampak ketika saya berkunjung di negeri Gajah Putih itu, Jumat, 28 Oktober 2022.
Secara pandangan mata, sepanjang jalan kota Bangkok, yang terlihat hanya gambar Raja dan Permaisuri yang terpampang. Tidak hanya di sepanjang jalan, tapi di semua halaman kantor, instansi dan institusi, foto sang Raja terpajang dengan ukuran sangat besar. Saya tidak melihat foto, spanduk, bahkan baliho para pemilik partai yang akan mencalonkan diri sebagai legislatif, atau calon pemimpin wilayah yang akan maju menjadi orang nomor satu. Berbeda pemandangan tersebut ketika saya ada di Indonesia, hiruk-pikuk para caleg memenuhi seluruh area publik untuk mempromosikan dirinya sebagai calon legislatif di semua level.
Itulah mungkin bentuk kekuasaan yang berlaku di negeri yang mayoritas penduduknya pemeluk Budha. Raja memerintah penuh kekuasaan negaranya. Raja yang dimaksud adalah Maha Vajiralongkorn pemilik Tahta setelah Raja Bhumibhol Adulyadej- sang ayah- wafat 6 tahun yang lalu.
Tiga hari berada di Bangkok, saya melihat adanya keteraturan masyarakat dalam menjalankan kehidupan. Ini terlihat saat saya sehari berada di kampus sebuah perguruan tinggi tempat saya mengikuti kegiatan penandatanganan Kerjasama bidang Pendidikan.
Di sana seluruh civitas akademika mengikuti ritme sistem pendidikan yang tertata. Walaupun ada minoritas mahasiswa pemeluk islam di sana, namun mereka dilibatkan penuh dalam pelayanan saat kami bersama rombongan AMCA (Association of Muslim Community in ASEAN). Mereka diberlakukan sama dengan yang lain dalam melaksanakan hak. Pemeluk Islam mendapat hak yang sama sesuai kapasitas. Ada mushola, ada waktu istirahat pada jam solat Jumat, dan seterusnya. Mereka berhak menggunakan pakaian seragam kuliah sesuai dengan keyakinan tanpa ada yang mengganggu satu dengan yang lain.
Ketika di tempat keramaian, saya juga melihat keteraturan. Ada interaksi masyarakat baik masyarakat lokal maupun orang-orang yang datang khusus ke Thailand dengan segala tujuan. Komunikasi berjalan dengan baik walaupun berbeda kemampuan berbahasa. Bahkan kepada orang yang tak dikenal, mereka mau dengan sendirinya mengambil sikap menundukkan kepala tanda hormat dan menyapa dengan bahasa tubuh.
Selama tiga hari itu pula saya tidak melihat ada polisi yang menertibkan jalan raya. Mungkin karena aturan yang kuat dari seorang raja dan mandarah daging atau kesadaran masyarakat yang sangat tinggi tentang ketertiban. Saya beserta rombongan merasa nyaman berada di jalan raya.
Saat berada di mal sebagai pusat perbelanjaan, keteraturan juga terdapat di sana. Pedagang dan pemilik dagangan memanggil dengan suara yang menyejukkan telinga. Dengan panggilan madam, ada juga yang memanggil saya kakak. Mungkin mereka tahu saya orang Indonesia dan mengenakan jilbab. Mereka bertanya “Kakak Indonesia?” dan saya menjawab “ya”. Langsung mereka bilang “SBY, murah-murah kakak, ayo beli”, padahal presiden sudah ganti Jokowi. Suasana sangat berbeda dengan pusat perbelanjaan sekelas PGS, Pasar Turi, yang pedagangnya mesti berteriak menawarkan daganganya kepada pengunjung.
Yang paling berkesan lagi adalah saat saya bersama rombongan pergi ke Wat Pho. Tempat ibadah sekaligus tempat wisata religi para pendatang yang ingin melihat dari dekat area ibadah kepada Sang Budha. Saya hendak membuang sampah bungkus permen dan tissue habis pakai. Namun tidak ada tempat sampah di sana. Panitia kunjungan, di sela-sela waktu jalan-jalan, membagikan air minum kemasan botol. Airpun saya teguk sampai habis dalam botol isi 250 ml itu. Saya menoleh kanan kiri, melihat ke depan, menengok ke belakang, tidak saya jumpai tempat sampah.
Saya malu saat akan menyandarkan botol kosong itu di tepi jalan atau dekat pohon besar. Akhirnya botol kosong itu saya masukkan dalam tas selempang saya. Dengan berharap nanti setelah keluar area Wat Pho akan ada tempat sampah di tepi jalan. Tidak adanya tempat sampah itu merupakan simbul bahwa kita tidak bisa membuang sampah di sembarang tempat. Dan itu akan menjadi kebiasaan.
Maka saya berpikir bahwa begitu kuatnya aturan itu ditegakkan sehingga mampu menghipnotis siapa saja yang ada di sana. Hukum benar-benar ditegakkan. Ketika di sana ada masyarakat, di sana pula ada hukum yang berlaku. Karena pada hakikatnya manusia dan hukum adalah dua entitas yang tak bisa dipisahkan.
Komunikasi dan sapaan yang baik begitu berkesan dan membekas dari pegawai rumah makan. Di tempat kami makan malam bersama rombongan, pramusaji tidak hanya sopan tapi juga mengajak bergurau dengan logat melayu yang dia kuasai.
Sapaan “ terima kasih Kakak” dengan lembut dan cara memberi uang kembalian saat saya belanja souvenir pun begitu teringat sampai sekarang. Tak hanya itu, saat kami mau pergi meninggalkan kios mereka, seorang pegawai dengan wajah cerianya membagi-bagi souvenir dompet kecil kepada semua pengunjung.
Tentu, segala sesuatu kemajuan sebuah negara dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara sangat ditentukan oleh mindset masyarakatnya. Maka kita akan menyadari, kesuksesan dan ketidakberhasilan suatu negara, dunia akan mengenang. (WN)