Kartini di pikiran saya

Moh. Ernam, M.Pd. | 24 April 2025

Detail literasi:

Kartini di Pikiran Saya 
Oleh : Moh. Ernam*

Ketika hari Kartini diperingati oleh rakyat Indonesia setiap tanggal 21 April. Ingatanku langsung melambung tinggi tentang pelatihan "Sadar Gender" yang pernah saya ikuti. Pelatihan tersebut diadakan oleh Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) –sekarang IPM– di Inagro, Parung, Bogor, Jawa Barat pada tahun 2001. Sejak saat itu juga saya sangat suka membaca buku-buku terkait dengan persoalan feminisme. Seperti bukunya Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, bukunya Fatimah Mernissi, Riffat Hassan, dan Nawal El-Shadawi. Salah satu novel karangan Nawal El-Shadawi yang terkenal berjudul Perempuan di Titik Nol dan sempat mengguncang jagat Mesir.
Ada cerita menarik yang membuat saya takjub ketika membaca buku tentang Kartini, yaitu tentang satu ayat di dalam Alquran yang menjadi favorit dari Kartini. Yaitu surat al-Baqarah ayat 257, yang artinya, “Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
Hal tersebutlah yang menjadi pertanyaan besar bagi saya, bagaimana bisa Kartini sangat mengagumi ayat ini? Ternyata setelah membaca surat-surat Kartini saat korespondensi dengan beberapa sahabatnya di Eropa seperti Nyonya Abendanon Mandri, Stella, dan lain-lainnya, agama menjadi salah satu diskusi yang menarik Kartini dan teman-temannya. 
Seperti surat yang dikirim Kartini kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899.
Berikut ini kutipan suratnya,
“Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca”.
“Aku pikir, adalah gila orang diajari membaca tapi tidak diajari makna yang terdapat dalam . Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya”.
“Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?”
Tidak hanya berhenti pada Stella, Kartini juga menulis surat yang dikirim kepada Ny Abendanon bertanggal 15 Agustus 1902 dengan tema yang sama.
“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghapal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya”.
“Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya”.
Pandangan Kartini ini berubah terbalik ketika bertemu dengan Kyai Sholeh Darat. Kyai Soleh Darat merupakan guru dari Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Kyai Hasyim Asy'ari. Dalam film Jejak Langkah 2 Ulama, yaitu Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Kyai Haji Hasyim Ashari diperlihatkan bahwa suatu waktu Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Kyai Haji Hasyim Asy'ari mengawal, mendampingi Kyai Soleh Darat untuk mengisi pengajian di rumah Bupati Demak, Pangeran Ario Hadiningrat, paman Kartini. Di situ Kyai Sholeh Darat menjelaskan tentang Tafsir Al-Fatihah. Padahal waktu itu Alquran hanya baru dipelajari untuk bisa dibaca, sedangkan arti dan maknanya belum ada, alias belum ada Alquran terjemahan. 
Setelah pengajian selesai Kartini merengek kepada pamannya agar diizinkan untuk bertemu dengan Kyai Soleh Darat. Tentu ini bukan perkara mudah, karena perempuan bertemu dengan seorang kyai yang sangat dihormati. Namun karena tidak tega dengan rengekan Kartini, pamannya pun mendampingi Kartini bertemu dengan Kyai Soleh Darat. 
Ketika Kartini bertemu dengan Kyai Soleh Darat, Kartini bertanya:
“Kyai Apa hukumnya bagi mereka yang menyembunyikan ilmu pengetahuan?” 
Mendengar pertanyaan Kartini, Kyai Soleh darat tertegun, lalu bertanya, “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?
Kartini menjawab, “Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Alquran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku.”
Tanpa memberikan kesempatan Kyai Soleh Darat menjawab, Kartini menegaskan, “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Alquran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Alquran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Rupanya pembicaraan ini menjadi pemikiran yang terus-menerus mengganggu Kyai Soleh Darat. Pertemuannya dengan Kartini merupakan perintah Allah untuk memulai pekerjaan besar, menerjemahkan al-Quran. Maka kemudian Kyai Soleh Darat mulai menerjemahkan Alquran dengan menggunakan bahasa Jawa yang ditulis dalam huruf Arab Pegon. Huruf Arab Pegon itu merupakan huruf Arab yang sudah dimodifikasi sehingga bisa dibunyikan dengan menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Melayu, dan bahasa lain di nusantara ini. Umat Islam pada waktu itu belum mengenal huruf latin sehingga mereka berkomunikasi, bersurat menyurat dengan menggunakan huruf jawa huruf Arab Pegon. Sampai sekarang huruf Arab Pegon ini masih digunakan di pesantren-pesantren untuk memberi makna pada kitab-kitab kuning.
Kyai Soleh Darat menerjemahkan al-Quran surat demi surat, juz demi juz. Kyai Soleh Darat menerjemahkan al-Quran hingga 13 juz, mulai surat al-Fatihah hingga surat Ibrahim. Terjemahan al-Quran ini kemudian di serahkan kepada Kartini sebagai hadiah pernikahannya. 
Kartini merasa teramat senang sekali mendapatkan hadiah al-Quran terjemah tulisan Kyai Sholeh Darat ia membaca al-Quran itu dengan sangat seksama. Mempelajarinya dengan tekun. Di setiap waktu luangnya, Kartini selalu membaca al-Quran terjemahan dari Kyai Soleh Darat. Sayangnya Kartini bisa menerima terjemahan juz 14 hingga juz 30 karena Kyai Soleh Darat meninggal dunia.
Namun al-Quran terjemahan karya Kyai Soleh Darat ini telah membuat padangan Kartini tentang Islam berbalik 1800. Melalui Ny Van Kol, dalam surat tertanggal 21 Juli 1902, Kartini menulis; “Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai”.
Bahkan dalam suratnya kepada Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis; “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah SWT”.
Setelah Kartini meninggal, Nyonya Abendanon Mandri mengumpulkan surat-surat Kartini. Surat-surat itu dibukukan dengan Buku itu diberi judul “Door Duisternis tot Licht”. Armijn Pane menerjemahkan judul ini menjadi, “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Sebagaimana ayat yang paling disukai Kartini, “yukhrijuhum minadh-dhulumâti ilan-nûr”. Dia mengeluarkan mereka dari aneka kegelapan menuju cahaya (iman). 
Di situlah Sungguh Al-Quran membuat kartini menjadi perempuan yang mencetuskan emansipasi di negeri kita ini. 
Membaca buku-buku tentang Kartini, saya terbawa emosi. Apa bisa kita menyelami al-Quran seperti Kartini?
Andai kita semua seperti kartini? …

Penyunting :  Khusnul Isa

Berita Lain Semua Berita

Literasi GTK Semua Literasi

Copyright © 2023 SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo