Detail literasi:
Survey yang dilakukan oleh UNICEF menunjukkan bahwa krisis Covid 19 memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental remaja. Penilaian cepat terhadap 8.444 orang remaja dan pemuda berusia 13 hingga 29 tahun di Sembilan negara di Amerika Latin dan Karibia menunjukkan bahwa 27% mengalami gangguan masalah kecemasan dan 15% mengalami depresi. Persentase kecemasan semakin tinggi terjadi pada perempuan. Faktor utama yang mempengaruhi kondisi emosi mereka saat ini 30% adalah karena situasi ekonomi. Situasi umum di negara-negara tersebut telah mempengaruhi kehidupan sehari-hari kamu muda dan remaja sehingga 46% dari mereka melaporkan kurang termotivasi melakukan kegiatan yang biasanya mereka sukai sedangkan 36% merasa kurang termotivasi untuk melakukan pekerjaan rutin. Persepsi mereka tentang masa depan juga telah terpengaruh secara negatif, terutama dalam kasus perempuan muda yang memiliki dan menghadapi kesulitan tertentu. 43% perempuan merasa pesimis tentang masa depan dibandingkan dengan 31% peserta laki-laki. Situasi yang menimbulkan keprihatinan mendalam dan merupakan seruan kepada otoritas kesehatan nasional adalah bahwa 73% merasa perlu untuk meminta bantuan mengenai kesejahteraan fisik dan mental mereka. Meskipun demikian, 40% tidak meminta bantuan. Angka ini meningkat pada kasus perempuan. Jika perlu meminta bantuan, sebagian besar (50%) remaja akan meminta bantuan di puskesmas atau rumah sakit khusus, 26% pada tokoh agama di tempat ibadah, dan 23% remaja meminta bantuan pada layanan online.
Hasil survey yang dilakukan oleh UNICEF tersebut bisa jadi tidak terlalu berbeda dengan remaja di Indonesia. Hal ini didukung dengan hasil survey Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi. Karena itu tidak mengherankan, bahwa permasalahan kesehatan mental pada remaja di Indonesia akibat pandemi covid 19 adalah fenomena gunung es. Bisa jadi permasalahan kesehatan mental remaja lebih banyak dari pada yang muncul di dalam hasil survey tersebut. Mengingat banyak terjadinya perubahan sosial, ekonomi, budaya selama pandemi covid 19 yang terjadi secara signifikan dan cepat, seperti adanya pembatasan sosial, pemutusan hubungan kerja, dan menghilangnya mata pencaharian.
Kesehatan mental adalah keadaan dimana setiap individu menyadari potensi yang dimilikinya dengan mampu menanggulangi tekanan hidup, bekerja secara produktif dan mampu memberikan kontribusi bagi lingkungan. Kesehatan mental harus dijaga baik lahir maupun batin. Munculnya permasalahan kesehatan mental dalam jumlah yang besar pasca pandemic ini bisa menjadi persoalan di masa yang akan datang dimana Indonesia yang saat ini mengalami bonus demografi, akan kesulitan mewujudkan generasi emas 2045 jika saat ini banyak remaja yang mengalami permasalahan kesehatan mental.
Munculnya persoalan kesehatan mental perlu dicermati secara teoritis. Penulis mencoba menjelaskan fenomena munculnya masalah kesehatan mental remaja dari Teori planned behavior menurut Icek Ajzen. Teori ini menyampaikan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh niat. Adapun niat pada diri seseorang ditentukan oleh tiga komponen, yaitu pertama adalah sikap, kedua adalah norma subjektif, dan ketiga adalah persepsi kontrol perilaku. Berdasarkan teori ini, perilaku remaja yang menunjukkan permasalahan kesehatan mental seperti enggan melakukan kegiatan rutin, termasuk tidak menyelesaikan tugas sekolah, lebih banyak berdiam diri di rumah dan bermain gadget muncul karena mereka memang tidak memiliki niat untuk mengerjakan tugas tersebut.
Menurut teori planned behavior berdasarkan perkomponen niat bisa dijelaskan sebagai berikut, pertama sikap seseorang terhadap perilaku tidak mengerjakan tugas, berdiam diri di rumah, bermain gadget ditentukan oleh keyakinan mengenai konsekuensi dari suatu perilaku. Keyakinan ini berkaitan dengan penilaian subjektif individu terhadap dunia sekitarnya. Melihat data yang disampaikan oleh Unicef sebelumnya bisa terlihat bahwa permasalahan kesehatan mental dimulai dari adanya keyakinan remaja bahwa dunia sekitarnya karena pandemi hanya melahirkan kesusahan karena mereka melihat lebih banyak kerugian yang terjadi dari pada manfaat dari pademi.
Kedua, komponen norma subjektif dari niat menurut teori planned behavior adalah persepsi individu terhadap harapan dari orang-orang yang berpengaruh dalam kehidupannya, misalnya orang tua, tentang apa yang dilakukan atau tidak dilakukannya suatu perilaku. Remaja yang cenderung berdiam diri di rumah, tidak mengerjakan tugas, yang menunjukkan masalah kecemasan serta depresi bisa jadi karena mereka selama pandemic, melihat orang tua mereka juga mengalami masalah kesehatan mental akibat langsung dari pandemic. Orang tua juga cenderung membiarkan perlaku anak yang tidak melakukan apapun dan bahkan ikut bersama-sama meratapi nasib karena pandemi. Dengan demikian, dalam diri remaja terbangun persepsi bahwa berdiam diri di rumah, tidak melakukan sesuatu hal yang produktif, bermain gadget adalah hal yang biasa.
Penjelasan komponen yang ketiga (persepsi kontrol perilaku) adalah persepsi individu mengenai mudah atau sulitnya mewujudkan suatu perilaku. Seorang remaja yang tidak mau mengerjakan tugas, cenderung berdiam diri di rumah, bermain gadget terjadi karena dia memang merasa kurang yakin untuk menguasai keterampilan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang dimunculkan oleh guru. Semakin kuat keyakinan remaja bahwa mereka tidak memiliki sumberdaya dan kesempatan yang cukup untuk membuat dirinya produktif, akan berakibat semakin persepsi control perilaku bahwa remaja tersebut tidak perlu bersusah-susah untuk menyelesaikan tugasnya. Dengan demikianm muncul perilaku yang menunjukkan masalah Kesehatan mental.
Bagaimana cara menangani permasalahan kesehatan remaja tersebut dengan kajian teori planned behavior bisa dengan beberapa hal berikut: pertama adalah membangun sikap remaja menjadi lebih baik. Karena keyakinan seseorang termasuk remaja terkait dengan dunia di sekitarnya, penting bagi semua pihak untuk bersama-sama menyelesaikan permasalahan pandemi covid 19. Saat ini dengan berkurangnya masalah covid 19, penting bagi penyedia media online atau pengguna media sosial untuk menyampaikan lebih banyak informasi positif terkait covid 19. Efektifitas vaksin dosis ketiga dan sudah dimulainya sekolah luring bahkan fullday bisa membangun keyakinan remaja bahwa dunia mereka saat ini sudah baik-baik saja. Kedua adalah membangun norma subjektif remaja. Orang tua dan guru adalah sosok penting remaja dimana para remaja banyak menghabiskan waktu di rumah dan di sekolah. Karena norma subjektif ini terkait dengan sosok penting bagi remaja, orang tua dan guru perlu terus menerus menunjukkan kebahagiaan, kesabaran, serta semangat untuk belajar menjadi orang yang lebih baik. Karena itu, kebijakan sekolah luring kembali seperti sedia kala merupakan kebijakan yang tepat untuk menghilangkan terjadinya lost generation. Di sekolah, para remaja akan berkumpul dan belajar tentang kebahagiaan bersama meskipun situasi sulit, bersabar untuk tetap menyelesaikan kesulitan secara bersama-sama, dan memunculkan motivasi untuk menjadi remaja yang lebih baik dari sebelumnya.
Sekolah dan lingkungan keluarga yang supportif terhadap bakat, minat remaja menjadi suatu hal yang penting untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan mental remaja. Dukungan yang diberikan orang tua dan sekolah terhadap potensi anak akan memunculkan keyakinan remaja bahwa mereka memiliki kesempatan yang terbuka lebar untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Dengan demikian, remaja akan lebih terpacu untuk menyelesaikan permasalahannya dan tumbuh menjadi remaja yang sehat secara mental, yaitu remaja yang mampu menyadari potensi yang dimilikinya dengan mampu menanggulangi tekanan hidup, bekerja secara produktif dan mampu memberikan kontribusi bagi lingkungan.
Oleh: Swasti Endang Ikhtiarti, S.Psi
Penulis adalah guru BK, SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo