Laut dan Hujan Tidak Berbicara

Risha Iffatur Rahmah, M.Pd. | 09 September 2024

Detail literasi:


Smamda.sch.id - Arini berkeringat dingin. Tangannya terasa kaku. Mimpi malam yang dialaminya terus berulang. Ia tahu apabila nanti ajal akan menjemput. Semua manusia akan mati. Arini punya iman tentu ia tahu  jalan pulang. 

Teringat sepekan lalu, pak Warsito, si Kepala Desa Witangsari sedang merapatkan beberapa program pembangunan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang letaknya jauh dari permukiman atau tambak warga. Apalagi desas desus yang diciptakan si Kades. Semakin membuat warga enggan mampir ke rawa yang berdekatan dengan laut Selatan. Mereka teracuni dengan anggapan laut dan rawa tempat membuang sial. 

Mata Arini tahu persis, terlebih sebagai sekertaris desa. Bagaimana tangan Kades dengan tegas menandatangani surat kontrak TPA. Dalam hati Arini, Kades hanya mencari untung. Beberapa pengusaha terlihat tersenyum puas. Sedangkan Arini kembali mengerutkan dahi. 

Ya, tanda-tanda yang cukup ganjil. Seingat Arini, tempat TPA itu hanya  untuk satu truk dan satu arah. Tempat yang jarang dikunjungi meskipun itu lahan tambak kering desa dan pohon bakau yang mengelilingi. 

Ketika  rapat usai, tangan Arini menenteng koper dari pengusaha. Si Kades tertawa lepas. Catatan kontrak jelas masih basah namun tidak tertera apa yang dibuang. Hanya ia yang mengira rupa sampah. Nurani Arini dijebak dengan uang dua puluh juta. Si Kades juga memperlihatkan ratusan juta. 

"Pak, apa yakin sampah tidak berdampak bagi nelayan, petambak, atau lingkungan sekitar?"

Keraguan semakin memuncak, hanya gelengan kepala tanpa beban memutar dari kanan ke kiri. Tangan Kades sibuk menghitung uang. Arini semakin gusar, uang dua puluh juta itu dibawa pulang. Inilah yang membuat dia tidak  bisa tidur. Mimpinya ibarat benang kusut. 

Hari dilewati begitu cepat, tepat tanggal 30 Mei dikabarkan banyak udang petambak yang  mati. Bau tambak menjadi amis dan busuk. Mirip tempat lelang ikan.Tidak tahan dengan semua itu, warga desa berdemo dengan membawa jirigen. Air di dalamnya berbau  busuk. Warga menumpahkan air di depan kantor kepala desa. Arini yang bertugas hanya terbelalak, nafasnya naik turun. 

"Air apa ini pak Kades? Ini bukan sembarang air, laut saja menolak. Ini dari TPA!" Teriak warga. 
 
Si Kades tidak tegang sama sekali, ia hanya bergumam dan mengamati. Ia berdalih dan mengatakan jika TPA belum sepenuhnya berfungsi. Tapi dipikirannya justru berbeda. Air kuning tembaga ini ialah limbah yang dibuang dua hari yang lalu. Kemungkinan terbawa pasang air laut lalu memcemari tambak warga. 

Kejadian ini di luar dugaan pak Kades. Mulutnya yang lincip hanya berseru, "Kerjaan orang iri dengan hasil udang windu kita! Tenang saja, kami selidiki. Betul? "
 
Warga kembali berdiskusi, sampai  warga hening dan berpikir. Juki (anak buah pak Kades) segera  menyahut, "Betul, Pak Kades... memang hebat!"
Kali ini warga percaya dan pak Kades juga memberikan uang cuma-cuma guna membantu warga. 

Langkah Kades ditentang oleh Arini. Dari kejauhan ia mencerca pertanyaan namun tidak satu pun ditanggapi. Berbeda dengan aktivitas beberapa warga yang menolak sikap Kades. Mereka lebih memilih  menendang jirigen. 

Aroma  busuk mulai menyelimuti seisi kantor. Terutama  nafas Arini. Mulut kecilnya memuntahkan air. Nafas mulai naik turun. Ia merasakan  penderitaan petambak dan nelayan.
Di sela rasa pening dan mual, Arini tidak sadarkan diri. 

"Terlalu lemah," umpat si Kades. 

Arini segera dibawa ke puskesmas yang bersebelahan dengan kantor desa. Terlihat muka pucatnya berangsur-angsur memudar. 

"Pak saya tak tahan, hari esok akan semakin 
berat." Gumam Arini. 

Pak dokter yang sedari tadi menangani kasus keracunan tentu menyimpan tanda tanya. Dokter muda itu menganalogikan, ada yang tidak beres.  Ia ingat betul gejala warga desa dan nelayan juga  mengalami hal yang sama, yaitu sesak disertai mual. 


Tangan dokter mengatur naik turunnya selang infus dan kembali menyimak apa yang dirasakan Arini. Di sanalah mereka mengobrol empat mata. Kebetulan sekali teman-temanya sudah kembali ke kantor.  Dokter menyarankan agar permasalahan ini dilaporkan polisi lalu uang pemberian itu dijadikan sebagai barang bukti. 

Mendengar saran itu, Arini menyadari kesalahannya. Apalagi ia melihat banyak anak kecil yang tercemar limbah. Tanpa disadari ada darah yang keluar dari paha. Ya, Arini keguguran.
Tangisan menyayat mulai terdengar, sudah sepuluh tahun pernikahan baru kali ini mengandung. 


"Kemungkinan besar, limbah itu sangat berbahaya karena tidak sesuai prosedur penanganan. Sabar dan tawakal."


Itulah kalimat terakhir dokter sebelum polisi datang. Rupanya pak Layo petuah dusun melaporkan kejadian ini ke polisi. Dia juga tahu jika lahan tempat TPA itu mengubur limbah cair yang merembes di sela hutan bakau. Beberapa hari setelah kejadian daun bakau mengering begitu juga  kematian ikan. 

Di kantor polisi terlihat Kades dengan wajah  marah menyalahkan Arini. Sedangkan situasi desa semakin mencekam, banyak warga yang jatuh sakit. 

Dokter jaga sampai perawat dibuat pusing. Nampak lelah dan tak sanggup akhirnya mereka merujuk ke Rumah sakit sekitar 49 km jaraknya. 
Hampir seminggu warga hanya mengandalkan air bersih. Di antara mereka ada yang pulang ke rumah saudaranya atau berpindah. 

"Tidak ada harapan!" Umpat pak Layo petuah Desa. 


Kejadian ini bermula pada tiga tahun silam. Tentang ramalan pak Layo jika desa Witangsari akan sepi seperti desa mati. Jika dihubungkan dengan watak orangnya yang mata duitan, jelas pak Kades lah biang masalahnya. Di mulai dari uang suap pemilihan kepala desa, provokasi, sampai manipulasi. 


Petuah desa juga tak setuju dengan aturan si Kades itu. Tapi bagaimana mereka pun tak punya tempat di hati warga. Setiap saat mereka mengeluh-eluhkan uang. Padahal warga desa setempat adalah petambak windu. Mungkin mereka juga harus menurut dengan ego si Kades yang paling banyak memegang kontrol kontrak tambak. 


Musim kemarau semakin panjang. Air bersih semakin tipis, pemerintah tidak lagi mengirim, dan tambak udang beralih menjadi kolam busuk.  Mereka hanya menunggu air hujan dan sapuan pasang air laut Selatan. 


Petuah adat juga tidak bisa menolong.  Kekaguman mereka tentang pak Kades menjadi kebencian. Masyarakat perlahan meninggalkan desa, mereka mencari peruntungan lainnya. Terlukis ketidakpercayaan perkataan Kades jika laut dapat mencuci dosa dan rawa-rawa tempat membuang kesialan. 


Ustadz Zakir menyaksikan kesedihan warga. Kejadian ini memberikan titik balik bahwa kepercayaan yang dibuat-buat hanya sekedar kepentingan dari manusia itu sendiri. Berkali-kali pak Ustadz selalu meyakinkan bahwa keimanan yang lurus dapat menata kehidupan bukan permasalahan uang dan uang. 


"Rezeki sudah ada di tempatnya, tinggal kita berjuang keras. Tidak mungkin ini pekerjaan  orang yang iri." Jelas Ustadz. 

Perlahan warga percaya  bersamaan ditangkapnya pak Kades. Limbah tetaplah berbahaya jika tidak diolah dengan baik. Pencemaran lingkungan sudah terjadi. Pertanyaan besar mengelayuti pikiran mereka, apakah laut dan air hujan bisa menyapu limbah ini? Tidak berselang lama, satu demi satu warga meninggalkan desa mati itu.


*Penulis adalah guru bahasa Indonesia SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo

Berita Lain Semua Berita

Literasi GTK Semua Literasi

Copyright © 2023 SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo