BAPER: "Saat Kesalahan Dijadikan Alat untuk Merendahkan"

Risha Iffatur Rahmah, M.Pd. | 05 Mei 2025

Detail literasi:

Kesalahan sering didefinisikan sebagai bentuk penyimpangan terhadap sesuatu hal yang dianggap benar, baik secara sistematis, konsisten, maupun insidental. Namun pemaknaannya akan berbeda ketika di lihat dari sudut pandang subjektif individu. Dalam ranah subjektif, kesalahan tidak dibingkai dengan standarisasi yang  baku melainkan persepsi, pengalaman, dan prasangka yang berakhir pada ketidak proporsional. Inilah yang kemumdian melahirkan sudut pandang negatif  berupa pelabelan, stigma, dan ketidakadilan sosial.

Ketika sesorang dianggap bersalah hanya karena berbeda dan tidak sesuai dengan ekspektasi orang lain berarti yang dihadapinya bukan lagi persoalan tentang kesalahpahaman belaka namun ada potensi munculnya konflik baru yang lebih luas dari personal sampai sosial. Sementara, dalam perspektif Islam, kesalahan merupakan esensi dari kurangnya menjaga perasaan satu sama lain. Dalam ukuwah Islamiyah, poin utamanya bukanlah mencari kesalahan tetapi mengacu pada penyadaran sebagai rasa persatuan untuk saling bekerja sama, dan menghormati. Al Quran dalam Surat Hujurat ayat 10 menegasakan:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ  وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَࣖ
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati. 
Ayat di atas memperlihatkan bahwa memperbaiki hubungan yang retak bukan hanya sebagai kesadarn sosial saja melainkan proses ketakwaan. Rasa tersebut dilahirkan dari proses mengerti bukan penghakiman. Lalu, dimanakah akar dari pecahnya rasa itu?Adanya praktik kecemburuan dan ketidakailan/ketimpangan sosial. Misalnya, ada seseorang yang merasa cemburu dan mendapatkan perilaku tidak adil karena dianggap tidak lebih baik dari temannya. Maka kesalahan dalam anggapan itu sudah tidak dipandang lagi sebagai proses manusiawi  tetapi sebagai alat untuk merendahkan.

Nah, akibatnya potensi ketegangan sosial internal atau relasional semakin kuat. Kesalahan berubah menjadi senjata bukan pembelajaran. Seringkali apa yang dianggap "salah" hanyalah refleksi dari luka dan ketimpangan tak berkesudahan.

Dalam psikologi modern empati dan kecerdasan sosial menjadi solusi untuk memahami orang secara adil. Menurut Goleman (1995) dalam "Emotional Intelligence", Ia menjelaskan bahwa seseorang berprespektif positif dengan menempatkan rasa empatinya membuktikan dirinya memiliki pengelolahan kecerdasan emosional yang baik.  Artinya, untuk menjaga perasaan satu sama lain, empati dapat menciptakan hubungan yang baik, pandai menyesuaikan diri tanpa menyakiti hati, dan berprilaku secara profesional. Misalnya, mendengarkan dan menyimak situasi yang ada sebagai bentuk rasa kepedulian, menjauhkan asumsi diri sebagai klarifikasi lebih condong ke narasi keislaman, mengendalikan emosi jika terjadi kesalahpahaman dan menggunakan bahasa yang netral tidak menyudutkan.

Alih-alih membenarkan kesubjektifan, kita melupakan manusia juga memiliki hati yang rentan. Misalnya istilah "Baper" (terbawa perasaan) menjadi label untuk mengecilkan perasaan orang lain, padahal ketika orang memiliki masalah yang diperlukan adalah solusi bukanlah ejekan. Ketidakpahaman memanusiakan manusia inilah yang akhirnya menjadi percikan konflik dan memperparah kerapuan relasi.

Lebih bijak apabila kita memperluas pengetahuan memanusiakan manusia berdasarkan empati dan refleksi karena dunia sosial tidak dibangun oleh kebenaran tunggal (individu) tetapi beragam sudut pandang, pengalaman, dan nilai-nilai dari pada mematikan karekter orang lain. Dengan begitu, kesalahan tidak boleh dipandang dan dijadikan alat untuk merendahkan orang lain melainkan berorientasi pada solusi sosial guna mewujudkan lingkungan yang adil dan welas asih.

Berita Lain Semua Berita

Literasi GTK Semua Literasi

Copyright © 2023 SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo